BAYANGAN POLARISASI POLITIK DI PILKADA MALAKA 2024: Sebuah Keresahan dan Solusi
Oleh: Putra Niron
Pegiat Literasi AMI Malaka dan Sasoka
Kabupaten Malaka akan melaksanakan lagi pemilihan pemimpin baru pada November tahun 2024. Situasi politik kembali memanas seperti yang pernah terjadi pada Pilkada tahun 2020. Berbagai langkah politik telah, sedang dan akan digunakan oleh para pihak yang terlibat dalam perhelatan ini. Apalagi tinggal 5 bulan hajatan politik masyarakat Malaka ini akan digelar. Tentunya pergerakan dari masing-masing kubu akan semakin gencar. Hal ini dapat mengakibatkan situasi politik di Kabupaten Malaka kian berubah.
Menurut penulis, politik seharusnya menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama dan menciptakan kebijakan yang mendukung kepentingan publik. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, kita dapat menyaksikan fenomena yang cukup mengkhawatirkan: politik yang mengkotak-kotakan masyarakat. Sebut saja situasi ini sebagai “bayangan” Polarisasi Politik. Polarisasi ini tidak hanya membagi masyarakat berdasarkan preferensi politik, tetapi juga sering kali memicu perpecahan yang lebih dalam berdasarkan identitas etnis, agama, atau kelas sosial. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai diskusi kusir di berbagai grup media sosial seperti Whatsapp Grup (WAG) dan grup-grup di Facebook. Hingga ada saling caci, saling menjelekkan dan berbagai ungkapan negatif yang beredar di beranda media sosial tersebut, yang secara tersirat dapat berpotensi mengkotak-kotakan di dalam masyarakat.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan polarisasi ini adalah retorika politik yang memanfaatkan perbedaan sebagai alat untuk mendapatkan dukungan. Para tim sukses di masing-masing kubu, sering kali menggunakan bahasa yang provokatif dan memecah belah, memanfaatkan ketakutan dan ketidakpercayaan di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Beberapa postingan di media sosial dan platform digital juga berperan dalam memperkuat perpecahan ini, dengan algoritma yang cenderung menampilkan konten yang memperkuat pandangan yang sudah ada, sehingga mempersempit perspektif dan memperkuat bias.
Dalam bukunya “The Republic,” Plato menggambarkan bagaimana konflik dan ketidakadilan dalam masyarakat dapat muncul dari perpecahan dan perbedaan kepentingan yang tidak dikelola dengan baik (Plato, diterjemahkan oleh Allan Bloom, 1968). Situasi ini mencerminkan bagaimana politik yang memecah belah dapat mengganggu harmoni sosial dan menghambat tercapainya keadilan. Akibatnya, masyarakat menjadi terpecah, dan ruang untuk dialog konstruktif semakin menyempit. Ketidakpercayaan terhadap institusi dan sesama warga negara meningkat, dan ini berdampak negatif pada stabilitas sosial dan perkembangan demokrasi. Dalam kondisi seperti ini, sulit untuk mencapai konsensus tentang isu-isu penting dan merumuskan kebijakan yang benar-benar mencerminkan kepentingan bersama.
Dampak Polarisasi Politik pada Kabupaten Malaka
Kabupaten Malaka, yang mekar pada tahun 2015 dari Kabupaten Belu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, tentunya menghadapi tantangan unik terkait dengan polarisasi politik. Sebagai daerah otonomi baru, dinamika politik di Malaka dapat memengaruhi berbagai aspek pembangunan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Polarisasi politik di daerah otonomi baru seperti Kabupaten Malaka dapat membawa dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Berikut adalah beberapa dampak dari polarisasi politik pada Kabupaten Malaka:
1. Terhambatnya Pembangunan Infrastruktur
Di daerah otonomi baru seperti Malaka, pembangunan infrastruktur sangat krusial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, polarisasi politik dapat menghambat proses ini. Ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan di antara pihak-pihak yang berkuasa dapat menyebabkan keterlambatan atau penghentian proyek-proyek infrastruktur penting, seperti jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan lain-lain.
2. Kualitas Pelayanan Publik Menurun
Polarisasi politik sering kali berdampak negatif pada kualitas pelayanan publik. Konflik antar partai atau kelompok politik dapat mengarah pada birokrasi yang tidak efektif dan korup. Ketidakstabilan politik membuat pejabat pemerintah lebih fokus pada perjuangan politik daripada pada pelayanan publik, yang mengakibatkan penurunan kualitas layanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial lainnya.
3. Kebijakan Pembangunan yang Tidak Konsisten
Ketika terjadi pergantian kepemimpinan yang terpolarisasi, kebijakan pembangunan sering kali berubah-ubah sesuai dengan agenda politik pihak yang berkuasa. Di Kabupaten Malaka, ini bisa berarti proyek-proyek yang dimulai oleh administrasi sebelumnya mungkin dihentikan atau diubah oleh administrasi baru. Kurangnya kontinuitas dalam kebijakan pembangunan dapat menghambat kemajuan jangka panjang daerah tersebut.
4. Meningkatnya Konflik Sosial
Polarisasi politik juga bisa memperburuk konflik sosial di Malaka. Ketegangan antar pendukung berbagai kelompok politik dapat menyebabkan konflik horizontal, yang dapat berdampak negatif pada keamanan dan kedamaian masyarakat. Ini juga dapat memicu segregasi sosial dan memperburuk hubungan antar komunitas.
5. Penurunan Partisipasi Publik
Ketika masyarakat merasa tereliminasi oleh proses politik yang terpolarisasi, partisipasi publik dalam proses demokrasi cenderung menurun. Di Kabupaten Malaka, ini bisa berarti rendahnya partisipasi dalam pemilihan umum, konsultasi publik, dan kegiatan pembangunan komunitas. Ketidakpercayaan terhadap institusi politik dapat mengurangi keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan yang penting bagi daerah mereka.
6. Ekonomi Lokal Terpengaruh
Polarisasi politik juga dapat berdampak pada ekonomi lokal. Ketidakstabilan politik membuat lingkungan investasi menjadi tidak menarik bagi investor. Bisnis lokal mungkin enggan untuk berkembang atau berinovasi karena ketidakpastian politik dan risiko konflik. Ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi kesempatan kerja bagi penduduk setempat.
7. Melemahnya Kepercayaan terhadap Pemerintah Daerah
Ketika politik menjadi terlalu terpolarisasi, masyarakat mungkin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah daerah. Mereka mungkin merasa bahwa pejabat pemerintah lebih mementingkan kepentingan politik mereka sendiri daripada kepentingan publik. Ini dapat memperburuk persepsi tentang korupsi dan ketidakadilan, serta menghambat upaya pemerintah untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam program-program pembangunan.
Mungkin akan muncul pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya Polarisasi ini. Seperti yang telah disentil penulis diawal tulisan ini, menurut penulis ada beberapa pihak yang perlu menyadari tanggung jawabnya akan situasi yang tengah timbul di tengah masyarakat.
1. Politisi dan Partai Politik
Politisi dan partai politik sering kali menjadi aktor utama dalam menciptakan polarisasi. Mereka menggunakan strategi politik yang memanfaatkan perbedaan dan ketakutan untuk mendapatkan dukungan. Dengan menonjolkan isu-isu kontroversial dan menggunakan retorika yang memecah belah, politisi dapat memperkuat basis pendukung mereka, meskipun itu berarti mengorbankan kohesi sosial. Hal ini dikarenakan perbedaan ideologi, cara pandang dan kepentingan dari masing-masing partai politik. Sehingga akan menjadi sulit menemukan atau mencapai kesepakatan atau kompromi dan memahami posisi masing-masing.
2. Media Online Lokal
Media memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Media lokal sering kali mencari berita sensasional untuk menarik perhatian. Apalagi jika media lokal tersebut dimiliki oleh oknum wartawan yang notabene lebih memihak ke figur atau calon politisi tertentu. Hal ini dapat memperparah polarisasi dengan menyebarkan informasi yang bias dan memicu emosi.
3. Platform Teknologi dan Media Sosial
Mungkin akan terkesan berlebihan tetapi berdasarkan apa yang diamati oleh penulis, perusahaan teknologi yang mengoperasikan platform media sosial juga bertanggung jawab atas polarisasi. Algoritma yang mereka gunakan cenderung memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan tinggi, yang sering kali berarti konten yang kontroversial atau emosional. Selain itu, kurangnya regulasi yang efektif dan moderasi konten yang lemah memungkinkan penyebaran mis informasi dan ujaran kebencian.
4. Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah sejumlah orang yang memiliki kesamaan tujuan dalam mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai tujuannya. Kehadiran kelompok ini begitu masif di dalam sistem politik. Kelompok ini juga dapat berkontribusi pada polarisasi dengan mempengaruhi kebijakan publik dan retorika politik demi keuntungan mereka sendiri. Mereka sering kali menggunakan berbagai cara kotor yang memecah belah untuk mengamankan agenda mereka, yang dapat menciptakan ketegangan di masyarakat.
5. Masyarakat dan Individu
Masyarakat dan individu juga memiliki peran dalam polarisasi. Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dapat memperkuat perpecahan. Selain itu, perilaku seperti menyebarkan informasi yang belum diverifikasi atau ikut serta dalam diskusi yang memecah belah di media sosial juga turut memperburuk situasi.
Lalu bagaimana kita bisa mengatasi persoalan mengenai Polarisasi ini. Penulis menawarkan solusi yang sekiranya dapat dipikirkan bersama.
1. Retorika Inklusif dan Kerjasama Bipartisan
Retorika ini hendaknya diadopsi oleh para politisi dari partai-partai politik secara lebih inklusif dan mempromosikan dialog lintas kelompok. Mereka harus fokus pada kebijakan yang menyatukan dan menghindari penggunaan isu-isu kontroversial untuk keuntungan politik sempit. Hal ini mungkin sepadan dengan yang ditulis oleh Filsuf Indonesia, Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya “Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,” dimana Franz menekankan pentingnya etika dalam politik untuk menjaga kesatuan dan keadilan dalam masyarakat (Magnis-Suseno, 1991).
Selain retorika Inklusif solusi yang dapat dipikirkan oleh para politisi yakni Kerjasama Bipartisan. Maksud dari kerjasama ini adalah memperkuat kerjasama antara partai-partai politik untuk menunjukkan bahwa kompromi dan kolaborasi adalah bagian penting dari proses demokratis.
2. Standar Jurnalisme dan Pendidikan Media
Bagi para pemimpin redaksi media lokal sekiranya perlu meningkatkan standar jurnalisme dengan memastikan berita yang disajikan akurat dan berimbang. Mereka harus menghindari sensasionalisme dan memberikan ruang bagi berbagai perspektif untuk menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Psikologi Komunikasi” menekankan pentingnya tanggung jawab media dalam membentuk opini publik yang sehat dan menghindari bias yang dapat memecah belah masyarakat (Rakhmat, 1994). Selain itu perlu juga adanya pendidikan media bagi para jurnalis atau wartawan secara lebih mendalam sehingga dapat menghasilkan berita atau tulisan yang mampu mengedukasi masyarakat tentang cara mengonsumsi berita secara kritis dan mengenali bias serta mis informasi.
3. Algoritma Transparan dan Moderasi Konten
Solusi ini mungkin terdengar berlebihan namun dapat diupayakan oleh para pemangku jabatan. Solusi yang penulis tawarkan adalah perusahaan teknologi harus memperbaiki algoritma mereka untuk mencegah penyebaran konten yang memecah belah.
Algoritma harus didesain untuk mempromosikan informasi yang berkualitas dan berimbang. Seperti apa yang ditegaskan dalam buku “Technopoly: The Surrender of Culture to Technology,” karya Neil Postman yang mengingatkan pentingnya menjaga etika dalam penggunaan teknologi agar tidak merusak struktur sosial (Postman, 1992).
Selain itu Perusahaan media perlu memperkuat moderasi konten dan bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi independen untuk menanggulangi mis informasi dan ujaran kebencian.
4. Transparansi dan Regulasi
Solusi yang berikut ini mungkin dapat menjadi perhatian bagi Kelompok Kepentingan, yakni perlu adanya transparansi dalam kegiatan kegiatan mereka termasuk dalam hal pendanaan. Selain itu regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan bahwa kelompok kepentingan tidak merusak proses demokratis dengan mempromosikan agenda yang memecah belah.
5. Pendidikan Politik dan Literasi Media Dialog dan Toleransi
Solusi berikut adalah untuk masyarakat ataupun individu. Bahwa setiap individu atau masyarakat harus didorong untuk meningkatkan literasi politik dan media mereka. Pendidikan politik yang komprehensif dan literasi media adalah kunci untuk membantu masyarakat memahami kompleksitas politik dan mengidentifikasi informasi yang akurat. Seperti penekanan Yudi Latif dalam bukunya “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,” tentang pentingnya pendidikan politik yang baik untuk memahami dan mengembangkan demokrasi di Indonesia (Latif, 2011).
Selain itu penting juga untuk menciptakan ruang-ruang dialog yang inklusif, di mana berbagai kelompok masyarakat dapat berbicara dan mendengarkan satu sama lain. Dialog yang jujur dan terbuka dapat membantu mengurangi ketegangan dan membangun pemahaman bersama.
Solusi-solusi di atas merupakan tawaran yang disodorkan penulis untuk dapat dicerna dan diadaptasi oleh mereka yang merasa bahwa penting juga menjaga situasi politik di kabupaten Malaka ini. Tidak menutup kemungkinan ada solusi lain yang lebih baik, karena apapun itu jika untuk kebaikan tanah Malaka, pastilah layak dan pantas juga untuk diperhatikan.
Penulis juga menyadari bahwa mengatasi polarisasi politik yang mengkotak-kotakan masyarakat di Kabupaten Malaka adalah tugas yang menantang, tetapi bukan tidak mungkin. Dibutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, media, dan individu. Dengan pendidikan yang lebih baik, dialog yang konstruktif, reformasi sistemik, regulasi yang tepat, dan kepemimpinan yang inklusif, kita dapat membangun masyarakat yang lebih bersatu dan demokratis, di mana perbedaan dihormati dan digunakan sebagai kekuatan untuk kemajuan bersama.
Referensi
Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, F. (1991). Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama.
Plato. (1968). The Republic. Translasi oleh Allan Bloom. Basic Books.
Postman, N. (1992). Technopoly: The Surrender of Culture to Technology. Vintage.
Rakhmat, J. (1994). Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya.
Biodata:
Putra Niron, pegiat literasi asal kabupaten Malaka. Aktif di Komunitas Literasi AMI Malaka dan Komunitas Sosial Sasoka. Telah menerbitkan tiga kumpulan puisi di antaranya, Penyair Bukan Kami; Kami dan Perjamuan Terakhir; dan Mata Cermin. Tengah mempersiapkan kumpulan puisi dan cerpen terbarunya. Putra dapat dihubungi via WA 085339015443, atau FB: Putra Niron, atau email; putraniron15604@gmail.com.